PENERBITAN IZIN REKLAMASI TELUK BENOA BALI

  • Burhan Adlansyah Fakultas Hukum, Universitas Surabaya, Surabaya-Indonesia
  • Sriwati Fakultas Hukum, Universitas Surabaya, Surabaya-Indonesia
  • Nabillah Amir Fakultas Hukum, Universitas Surabaya, Surabaya-Indonesia
Abstract Views: 274 times
PDF Downloads: 245 times
Keywords: presidential regulation, benoa bay, regional regulation, spatial planning, reclamation, peraturan presiden, teluk benoa, peraturan daerah, penataan ruang, reklamasi

Abstract

Abstract — Benoa Bay will be reclaimed when the Governor of Bali issues SK 2138/02-C / HK / 2012. Because the decree is considered to be in conflict with the prevailing laws and regulations and the publication does not involve the aspirations of the public. The Governor of Bali then issued Decree 1727/01-B / HK / 2013 which was the cancellation of the previous decree and gave permission to PT. TWBI to conduct a feasibility study then the government changed the allotment of the Benoa Bay which was once a conservation area (Zone L3) into a public use area (Zone P) with the issuance of Perpres 51/2014 Amendment to RTRKP SARBAGITA, in the Presidential Regulation requires that the Benoa Bay through revitalization activities can be held reclamation area of 700 Ha. The research method used is normative juridical. The results showed an indication of efforts to bleach spatial violations because the revision of the spatial plan was done not to whiten the deviation of the implementation of spatial use. And in the issuance of the Perpres the government does not involve the participation of the community, this is a form of the principle of openness in spatial planning and reclamation activities must have a location permit that is adjusted to the RZWP3K and RTRW. With its status in RZWP3K as a conservation area in the Badung Regency RTRW Regulation. So the reclamation permit cannot be granted and the existence of Benoa Bay must be maintained because the Balinese people agree that every development in Bali must be based on the values of local wisdom in the Tri Hita Karana concept.

Keywords: presidential regulation, benoa bay, regional regulation, spatial planning, reclamation

 

Abstrak— Teluk Benoa akan direklamasi ketika Gubernur Bali mengeluarkan SK 2138/02-C/HK/2012. Karena SK tersebut dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dalam penerbitanya tidak melibatkan aspirasi masyarakat. Gubernur Bali kemudian mengeluarkan SK 1727/01-B/HK/2013 yang merupakan pembatalan SK sebelumnya dan memberikan izin kepada PT. TWBI untuk melakukan studi kelayakan kemudian pemerintah merubah peruntukan Teluk Benoa yang dulunya sebagai kawasan konservasi (Zona L3) menjadi kawasan pemanfaatan umum (Zona P) dengan diterbitkanya Perpres 51/2014 Perubahan Atas RTRKP SARBAGITA, dalam Perpres tersebut menghendaki Teluk Benoa melalui kegiatan revitalisasi dapat diselenggarakan reklamasi seluas 700 Ha. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan adanya indikasi upaya pemutihan pelanggaran tata ruang karena revisi terhadap rencana tata ruang dilakukan bukan untuk pemutihan terhadap penyimpangan pelaksanaan pemanfaatan ruang. Serta dalam penerbitan Perpres tersebut pemerintah tidak melibatkan peran serta masyarakat, hal ini sebagai bentuk prinsip keterbukaan dalam penataan ruang dan kegiatan reklamasi wajib memiliki izin lokasi yang disesuaikan dengan RZWP3K dan RTRW. Dengan statusnya dalam RZWP3K sebagai kawasan konservasi dalam Perda RTRW Kabupaten Badung. Maka izin reklamasi tidak dapat diberikan dan keberadaan Teluk Benoa harus dapat dipertahankan karena masyarakat Bali sepakat bahwa setiap pembangunan di Bali harus didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dalam konsep Tri Hita Karana.

Kata kunci: peraturan presiden, teluk benoa, peraturan daerah, penataan ruang, reklamasi

Downloads

Download data is not yet available.

References

Arba. (2017). Hukum Tata Ruang Dan Tata Guna tanah. Jakarta: Sinar Grafika.

Hasni. (2016). Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah Dalam Konteks UUPA-UUPR- UUPLH. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Hermit, Herman. (2008). Pembahasan UU No. 26/2007 (U.U. No. 26 Tahun 2007). Bandung : Mandar Maju

Imami, A Dajaan, Amiruddin, (2014). Hukum Penataan Ruang Kawasan Pesisir (Harmonisasi dalam Pembangunan Berkelanjutan). Bandung : Logoz Publishing

Ridwan, Juniarso & Acmad Sodik. (2016). Hukum Tata Ruang Dalam Konsep Kebijakan Otonomi Daerah. Bandung : Nuansa

Asri Setianingrum, Kenyo Handadari, Tri Edhi Budhi Soesilo & Widodo Setiyo Pranowo. (2018). Indeks keberlanjutan sumber daya laut dan pesisir di lokasi reklamasi Teluk Benoa Bali. Vol. 13, No 3, Desember 2018

Ari Sanjaya & Anom Wiryasa, Analisis Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Pesisir Dan Pulau- Pulau Kecil Dalam Penyelengaraan Penataan Ruang Wilayah Provinsi Bali

Dina Sunyowati, Pengaturan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia

IGA Gangga Santi Dewi, Penolakan Masyarakat Terhadap Reklamasi Teluk Benoa Provinsi Bali Vol. 4 No. 1 Februari 2019

Ni Wayan Rainy Priadarsini S., Putu Ratih Kumala Dewi, & A.A.A. Intan

Parameswari. (2015) Gerakan Tolak Proyek Reklamasi Teluk Benoa sebagai Penguatan Identitas Kultural Masyarakat Bali. Vol. 08, Nomor 02, Oktober 2018

Syifauar Rahmah, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Masyarakat Nelayan Wilayah Pesisir

Tommy Cahya Trinanda, Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia Dalam Rangka Pembangunan Berbasis Pelestarian Lingkungan Vol. 1, No2, Juli 2017

Published
2021-11-01